
Pemisah Antara Tarawih
dan Qiyam
Pemisah Antara Tarawih dan Qiyam
Memisah dalam hukum berdasarkan nama tidak ada
dalilnya. Tidak terbentuk satu hukum dari hukum shalat malam
karena semata-mata penamaannya dengan tarawih atau qiyam,
keduanya adalah shalat malam. Syaikh Abdullah Aba Bithin
rahimahullah berkata: Yang berlaku dalam ucapan masyarakat
awam dari penamaan mereka sesuatu/shalat yang dilakukan di
permulaan malam dinamakan tarawih dan shalat yang
dilakukan setelah itu disebut qiyam, ia adalah pemisahan
kalangan awam, akan tetapi semuanya adalah tarawih dan
qiyam. Sesungguhnya qiyam Ramadhan dinamakan tarawih
karena mereka beristirahat setelah empat rekaat karena
mereka memanjangkan shalat mereka.1
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: Semua
shalat di bulan Ramadhan dinamakan qiyam.2
Sebagian mereka mengira bahwa pemisahan ini di
antara shalat permulaan malam dan akhir malam adalah ‘ta’qib’
yang disebutkan oleh para fuqaha dan tidak disukai oleh
1Ad-Durarussaniyah 4/369.
2Al-Fatawa 11/338
3
sebagian mereka. Syaikh Abdullah Aba Bithin mengingatkan
kekeliruan dugaan ini dengan katanya: Yang diduga sebagian
orang bahwa shalat kita di sepuluh terakhir adalah shalat ta’qib
yang tidak disukai sebagian fuqaha, sebenarnya dugaan itu
keliru. Karena ta’qib adalah melakukan shalat sunnah
berjamaah setelah selesai shalat tarawih dan witir. Inilah
ungkapan para fuqaha dalam mendefinisikan ta’qib bahwa ia
adalah shalat sunnah berjamaah setelah shalat witir yang
mengiri shalat tarawih. Maka ucapan mereka sangat jelas
bahwa shalat berjamaah sebelum witir bukan ta’qib.3
Kemudian, andaikan itulah yang dimaksud ta’qib,
mayoritas fuqaha berpendapat bahwa hal itu tidak makruh.
Ibnu Rajab berkata: mayoritas fuqaha berpendapat bahwa ia
tidak makruh dalam kondisi apapun.’4 Kemudian, sebagian
ulama yang memakruhkannya seperti Hasan al-Bashri,
memakruhkan karena alasan lain, yaitu yang dia tegaskan
dalam ucapannya saat ditanya tentang ta’qib: ‘Janganlah kamu
membuat manusia bosan.’ Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
dalam Mushannafnya. Ibnu Rajab berkata dalam memberi
3Ad-Durarussaniyah 4/270.
4Fathul Bari 6/259
4
komentar terhadap ucapan Hasan al-Bashri: Makruh ini adalah
karena maksud lain selain shalat setelah witir.5
Al-Kausaj mengutip dari Ishaq bahwa apabila imam
menyempurnakan shalat tarawih di awal malam, makruh
baginya shalat dengan mereka di akhir malam secara berjamaah
yang lain, dan kesempurnaan tarawih adalah menutupnya
dengan witir. Adapun bila ia belum menyempurnakannya
dengan mereka di permulaan malam maka ia boleh
menyempurnakannya di akhir malam, dan atas dasar ini tidak
dimakruhkan.6
Memisah di antara shalat di permulaan malam dan di
akhirnya bukan sesuatu yang bid’ah, bahkan ia diriwayatkan
dari Nabi saw. Al-Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya dari
Ibnu Abbas rad, ia berkata: ‘Aku menginap di rumah bibiku
Maimunah rad, maka beliau shalat Isya, kemudian datang (ke
rumah) lalu shalat empat rekaat, kemudian tidur, kemudian
bangun, lalu aku datang berdiri di sebelah kirinya, maka beliau
menjadikan aku di sebelah kanannya. Lalu beliau shalat lima
rekaat, kemudian shalat dua rekaat kemudian tidur sehingga
5Fathul Bari 6/259
6Masa`il Kausaj 2/840 no. 492, dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/259.
5
aku mendengar dengkurnya, kemudian beliau keluar menuju
shalat.’
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Mushannafnya
dari Anas rad bahwa ia berkata tentang ta’qib: tidak mengapa
dengannya, sesungguhnya mereka kembali kepada kebaikan
yang mereka harapkan dan berlepas diri dari keburukan yang
mereka khawatirkan.
Dan hakikatnya bahwa untuk keutamaan sepuluh
malam terakhir (di bulan Ramadhan) mereka menambahkan
shalat tahajjud di akhir malam setelah melaksanakan shalat
tarawih di awal malam, karena Nabi saw bersungguhnya di
sepuluh terakhir yang tidak beliau lakukan di malam lainnya:
‘Apabila masuk sepuluh terakhir beliau beliau bersungguh
sungguh, mengencangkan sarungnya dan menghidupkan
malamnya, dan para sahabat melakukan hal itu karena
mengikuti Nabi saw.
Pengambilan dalil mereka yang keliru bahwa ‘Nabi saw
tidak menambah di bulan Ramadhan dan tidak pula di bulan
lainnya dari sebelas rekaat’ menghalangi mereka dari kebaikan
yang sangat banyak. Karena sebelas rekaat yang beliau lakukan
menghabiskan sebagian besar malam dengan lama berdiri,
6
7
rukuk dan sujud, yang tidak mereka perhatian, di mana mereka
hanya mengambil jumlah rekaat bukan tata caranya. Dan
kebiasaan kondisi Nabi saw bahwa beliau shalat sendirian di
malam hari, dan beliau bersabda:
“Siapapun di antara kamu yang mengimami manusia
maka hendaklah ia meringankan, karena di antara jama’ah ada
yang tua, lemah, dan mempunyai kebutuhan, apabila ia shalat
sendirian maka hendaklah ia shalat sekehendaknya.’
Karena alasan inilah tatkala para shahabat
melaksanakan shalat tarawih berjama’ah di masa Umar rad
mereka melaksanakan dua puluh tiga rekaat lalu mereka
meringankan sifatnya dan menambah bilangan. Dan Nabi saw
bersabda:
“Hendaklah kamu berpegang dengan sunnahku dan
sunnah para khulafaur rasyidin.”
Maka dua puluh tiga rekaat termasuk sunnah
khulafaurrasyidin dan sebelas adalah perbuatan Nabi saw, dan
semuanya adalah sunnah. Perbedaannya adalah dalam bilangan
karena perbedaan cara pelaksanaan dan karena perbedaan
kondisi orang-orang yang shalat sendirian dan berjamaah.
Nabi saw mendorong melaksanakan qiyamullail dan
beliau tidak menentukan batas tertentu yang menunjukkan
bahwa perkaranya adalah luas, dan sesungguhnya ditinggalkan
karena keinginan orang yang shalat dan jenis shalatnya.
Wallahu A’lam.
Dalam fatwa Lajnah Daimah: tidak mengapa
menambah bilangan rekaat di sepuluh malam terakhir dari
bilangannya di dua puluh pertama, dan membaginya menjadi
dua bagian, satu bagian dilaksanakan di permulaan malam dan
meringankannya atas dasar bahwa ia adalah shalat tarawih
sebagaimana dalam dua puluh pertama, dan satu bagian
dilaksanakan di akhir malam dan ia memanjangkannya atas
dasar bahwa ia adalah shalat tahajjud. Sesungguhnya Nabi saw
bersungguh-sungguh di sepuluh malam terakhir yang tidak
8
beliau lakukan di malam lainnya. Apabila masuk sepuluh
terakhir beliau bersungguh-sungguh, mengencangkan sarung
dan menghidupkan malamnya, serta membangunkan istri
istrinya karena menjaga lailatul qadar. Maka yang mengatakan
bahwa beliau tidak menambah di akhir malam dari yang beliau
lakukan di awal bulan menyalahi petunjuk Nabi saw dan
menyalahi petunjuk salafus shalih berupa lama berdiri di akhir
bulan di akhir malam. Maka yang wajib adalah mengikuti
sunnahnya dan sunnah khulafaur rasyidin sesudahnya,
mendorong kaum muslimin untuk melaksanakan shalat tarawih
dan shalat qiyam bukan malah menghinakan mereka dalam hal
itu
dan bukan melemparkan syubhat yang mengurangi
semangat mereka melaksanakan qiyam Ramadhan.7
7Al-Majmu’ah tsaniyah 6/82-83.
9